Monday, June 18, 2007

Ikebana

Suatu malam suamiku bertanya, '' Mau nggak ikut kursus singkat Ikebana?''. Spontan aku menjawab, ''Mau, mau... dimana, gratis nggak?''. Pertanyaan terakhir sangat penting bagiku karena maklumlah....kami harus berhemat selama hidup di rantau. Hore... ternyata memang gratis untuk mahasiswa asing dan keluarganya.
Jadi pada tanggal 27 Mei 2007 kami sekeluarga pergi ke Osaka untuk mengikuti kursus singkat Ikebana. Rencananya aku dan suamiku yang akan menjadi peserta kursus itu dan Mutia yang bertugas menjaga Hana. Tetapi entah mengapa Hana menjadi rewel saat kursus akan dimulai. Jadilah Mutia menggantikan abinya dan menjadi peserta kursus termuda saat itu.

Ikebana adalah seni merangkai bunga, berasal dari kata ''Ikeru'' (meletakkan, merangkai) dan ''Hana/Bana'' (bunga). Keindahan tidak hanya dihasilkan dari penggunaan bunga sebagai materi tetapi penggabungan bunga, daun, batang, ranting pohon dan juga buah. Selain itu, rangkaian bunga Jepang didasarkan pada tiga titik yang melambangkan langit, bumi dan manusia.

Sebenarnya ada beberapa macam gaya Ikebana tetapi yang kami (aku dan Mutia) pelajari saat itu adalah gaya Slanting Moribana, yaitu merangkai bunga di wadah lebar (moribana berarti mulut lebar) dipadukan dengan kemiringan (slanting) arah bunga. Materi yang digunakan adalah vas bundar datar, Milenium bambu (Dracaena sanderiana), bunga Gerbera pink (Gerbera jamesonii), daun Filodendron (Philodendron cv.kookaburra) dan ''Benibana''(Carthamus tinctorius. Bagaimana cara merangkainya? ikuti saja step by step di bawah ini (maaf ya aku copy dari http://www.holymtn.com/garden/Ikebana, lagi males menjelaskan nih!).
Slanting Style (Moribana)
by Reiko Takenaka

Nah, ini dia hasil kursus singkat Ikebana ku, lumayan bagus kan untuk pemula. Tapi jangan mengira komunikasi antara aku dan sensei yang bertugas mengajariku berjalan lancar. Sensei tidak bisa sama sekali bahasa Inggris sementara bahasa Jepang ku '' chotto sukoshi dake'' atau '' just a bit'' (maklum baru 3 bulan join at Nihongo class, he he). Namun keterbatasan bahasa rupanya tidak mengurangi semangat sensei untuk menjelaskan dan mengajariku Ikebana. Termasuk ketika aku bertanya dengan Nihongo seadanya '' mengapa peletakan bunga berdasarkan pada 3 titik, bukan 4 atau 5?'', dia dengan sabar berusaha menjelaskannya padaku bahwa 3 titik bermakna keharmonisan manusia dengan alam (bumi dan langit). Dan ketika pada akhirnya aku berkata ''haik, wakarima shita'', dia tampak sangat puas. Rupanya semangatnya tidak berhenti sampai disitu. Bahkan ketika kami sekeluarga sudah pamit dan keluar ruangan, dia berlari mengejar kami hanya untuk mengajari Mutia bagaimana cara membuat ''Origami'' pinguin. Kira-kira ada nggak ya, orang Indonesia yang ramah dan telaten seperti dia pada orang asing?.

Dan yang di bawah ini adalah salah satu contoh display Ikebana saat saat itu, ck ck ck sugoi to kirei ne !!!.







Sunday, June 17, 2007

Sampah

Dulu sewaktu masih tinggal di Bogor, sedih rasanya saat melihat tumpukan sampah (terutama sampah plastik) yang menggunung di pasar Anyar dan stasiun kereta. Bahkan di rel kereta pun sampah plastik menumpuk dan berterbangan setiap kali KRL lewat. Apalagi kemudian ada kasus TPA Bantargebang dan Bojong, juga kota Bandung yang sempat kelabakan bingung harus membuang sampah ke mana. Waduh, gimana ya caranya agar orang Indonesia sadar untuk membuang sampah di tempatnya, juga bagaimana caranya mendaur ulang sampah-sampah tersebut?.

Yang bisa kulakukan saat itu (dan sampai dengan sekarang) hanya berusaha untuk tidak membuang sampah sembarangan, membawa sampah perjalanan pulang dan membuangnya di rumah, membatasi penggunaan kantong plastik saat belanja dan mengajari anakku untuk tertib membuang sampah ''hanya'' di tempat sampah. Untuk daur ulang, aku sempat berusaha mendaur ulang sampah organik dapur menjadi kompos untuk pupuk tanaman kebunku ( sayang akhirnya terhenti karena kesibukan rumah tangga). Awalnya, suamiku mentertawakanku ketika dalam perjalanan aku ngotot memasukkan sampah plastik/kertas bekas ke tas dan baru membuangnya di rumah. '' Kenapa harus repot'', katanya. ''Toh yang aku lakukan tidak akan berarti apa-apa untuk menyelesaikan masalah sampah di Indonesia''. Sempat marah juga sih, karena menurut pendapatku, apa salahnya melakukan apa yang kita bisa walau sekecil apapun artinya. Kesadaran tertib membuang sampah harus berasal dari kesadaran pribadi. Saat ini mungkin hanya aku, Mutia dan suamiku (akhirnya) yang mau melakukannya. Siapa tahu ada satu/dua orang lainnya lalu somehow menjadi tiga/empat orang lainnya dan kemudian berkembang terus sehingga setiap orang Indonesia sadar untuk peduli akan sampah yang mereka hasilkan.

Saat ini setelah beberapa bulan menetap di kota Otsu Jepang aku kagum melihat betapa bersihnya kota ini. Tidak pernah kulihat ada sampah di tempat umum. Manajemen pengolahan sampah tidak hanya dimulai ketika sampah berada di tempat sampah tapi jauh sebelum sampah itu sendiri dihasilkan. Contoh sederhana adalah sampah organik yang berasal dari sayur/daging/ikan. Ketika kami membeli sayur/daging/ikan dari supermarket, semuanya sudah dalam kondisi siap olah dalam artian sudah dibersihkan bahkan sudah terpotong-potong sesuai jenis makanan yang akan dimasak. Tidak ada lagi tangkai, daun, kulit dan tulang yang nantinya akan terbuang. Jadi minimalisasi sampah sudah terjadi sejak proses produksi hulu.

Di setiap rumah wajib tersedia 3 tempat sampah ; untuk sampah organik, plastik dan kaleng. Untuk wadah minuman dari kertas yang bisa di recycle ada tempat pengumpulan sampah di beberapa tempat. Sampah organik diambil 2 kali seminggu dan sampah plastik/kaleng 1 kali seminggu, itu pun kita yang harus meletakkannya di tempat sampah kolektif (di pinggir jalan). Setiap hari Jum'at ada mobil khusus yang berkeliling menawarkan jasa pembuangan sampah elektronik/furniture yang tentu saja tidak gratis. Teman-teman Indonesia banyak yang mengeluh, mau buang sampah saja kok mahal. Tapi setelah dipikir-pikir, bagus juga harus membayar untuk membuang sampah-sampah tersebut karena akan mendidik kita untuk berpikir dua kali sebelum membeli barang ; benar-benar dibutuhkan atau tidak dan kemana barang lama harus disingkirkan.

Di Tempat umum banyak tersedia minimal dua jenis tempat sampah (untuk sampah organik dan anorganik) dan setiap orang yang bepergian selalu membawa kantong plastik di dalam tas mereka untuk membuang sampah pribadi. Kesadaran penduduk Jepang untuk selalu tertib dalam hal apa pun memang patut diacungi jempol. Saat menunggu lampu hijau traffic light, saat menunggu kereta/bis datang atau saat akan naik lift semuanya sadar untuk antri. Tak pernah ada tulisan ''buanglah sampah pada tempatnya'' atau ''harap antri''. Bayangkan kalau di Indonesia, naik KRL selalu berebut setiap waktu. Bahkan seusai shalat ied di halaman mesjid pun orang sering lupa membawa alas koran bekas mereka pakai untuk dibuang di rumah dan menyerahkan urusan itu ke pengurus mesjid. Wah wah wah kapan ya Indonesia bebas dari masalah sampah?