Tuesday, April 4, 2017

Tertanduk Kata (late post)

Ketika waktu berlari cepat
Ketika agenda memenuhi asa
Dan pujian dianggap cemooohan
Maka tak sadar ada yang tergores

Sejuk pagi tak lagi menghangatkan hati
Seolah aura mu meredup kelabu
Tertahan sudah tangan yang terulur
Tersisa tanya di hati

Setitik debu menodai rasa
Tercipta jarak antara jiwa
Akankah esok pagi bercahaya
Satu genggaman menjadi harap.





Monday, April 3, 2017

My only sister Evi Heradati (in memoriam)

  
Sejak lama ada niatan untuk menulis tentang almarhumah, tapi karena kesibukan baru terlaksana sekarang. Sebenarnya tak banyak kenangan tentangnya karena meskipun hanya dia satu-satunya saudara perempuanku, namun karena sakitnya dan ketidakmampuanku untuk memahaminya menjadikan kami kurang akrab.

Kami enam orang bersaudara. Ayah kami R.Soebagio Purwokusumo, seorang guru SMA (pensiun) berdarah Madura. Ibu kami Siti Rahayu (BRI, pensiun) berdarah Jawa.

Kami sesaudara adalah ; 
  1. Taufan Marhaendrajana (laki-laki)
  2. Evi Heradati (perempuan)
  3. Yudhanta Sambhara Kreshna ( laki-laki)
  4. Ave Victorika Paramasari (perempuan, aku)
  5. Rizka lafitrin Qodri (laki-laki)
Rizka Ahlakul Karim (laki-laki)                                                                                                 Masa kecil kami habiskan di Sumenep Madura, yang merupakan kota asal ayah bersama keluarga besar ayah. Benar-benar keluarga besar, karena di rumah kami yang memiliki 6 kamar tidur, kami sesaudara hidup bersama kakek-nenek plus tiga tante (bersama  keluarga masing-masing), tiga sepupu ayah dan dua pembantu. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya keseharian rumah kami....hampir-hampir tak punya privasi, seingatku.

Ibu kami, sebagai karyawati bank selalu sibuk dibandingkan ayahku. Beliau berangkat kerja di paggi hari lalu pulang sore, kemudian sering dilanjutkan lembur di malam hari. Otomatis kami sesaudara banyak diasuh oleh nenek dan tante-tante. Mungkin karena komunikasi yang tidak baik antara orang tua kami, plus campur tangan kelurga besar ayah dalam setiap masalah, menyebabkan ibuku meninggalkan rumah dan menggugat cerai ayah. Itu terjadi sekitar saat aku kelas dua SD. Tentu saja itu pukulan berat bagi kami sesaudara, terutama bagi saudara perempuanku, mbak Evi.

Bukan berarti perceraian orangtua tidak terasa berat bagi yang lain, tapi mungkin karena saat itu mbak Evi yang selisih usianya 8 tahun lebih tua dariku, otomatis lebih dekat dengan ibu dan lebih mengerti permasalahan kedua orang tua kami. Sifatnya yang tertutup tak punya teman juga menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan jiwanya. Sebenarnya, sebelum mbak Evi sakit, dia adalah anak yang cerdas, kemampuan verbal dan percaya dirinya jauuh lebih baik dibandingkan denganku.  Diantara kami bersaudara, dia juga lebih empati pada penderitaan orang lain.

Namun jujur saja, aku tak bisa dekat dengannya. Sejak kecil aku sering disebutnya, jelek dan bodoh (entah dia serius atau hanya menggoda) jadi tentu saja aku merasa lebih nyaman dengan kakak sulungku, yang lebih sabar dan penyayang. Ditambah dengan masalah kejiwaannya yang membuat temperamennya meledak-ledak membuatku semakin tak nyaman di dekatnya.

Walau bagaimanapun, mbak Evi tetaplah satu-satunya saudara perempuanku. Ada saat-saat kami menjadi akrab, meski keakraban itu cepat memudar jika dia menjadi tak stabil. 

Pengobatan medis ke psikiater sudah diusahakan oleh ibuku, termasuk beberapa kali dirawat di RSJ untuk mencegah mbak Evi kabur dari rumah. Suatu hari, saat aku kuliah semester 5 sekitar tahun 1997, mbak Evi memaksa untuk pergi ke rumah nenek di Malang sendiri tanpa mau ditemani ibu. Sesampainya di rumah nenek, dia ngotot ingin mengunjungi ayah di Banyuwangi. Tanpa bisa dicegah, dia berangkat sendiri namun tak pernah tiba di rumah ayah.

Usaha pencarian tak membuahkan hasil dan kami lost contact dengannya selama bertahun-tahun. Sempat ada kabar, dari tetangga Sumenepyang pernah dikunjungi mbak Evi, dia sudah sembuh dan berkeluarga. Namun sayangnya saat itu dia tak mau menemui keluarganya. Bertahun-tahun berlalu kami hanya bisa pasrah dan berdoa.

Alhamdulillah, di tahun 2006 seorang kerabat mengenali mbak Evi di tepi jalan, compang-camping berjalan tanpa tahu arah di daerah Banyuwangi, dekat dengan rumah ayah. Akhirnya mbak Evi menetap dan dirawat oleh ayah kami. Hingga akhirnya mbak Evi wafat di tahun karena sakit. Mbak, maafkan adikmu ini tak bisa memahamimu meski selalu mencoba, semoga saat ini mbak Evi beristirahat dalam kedamaian.....Amin.