Tuesday, October 9, 2007

Adikku Rizal

Hari senin tanggal 8 Oktober 2007 malam, aku dikejutkan oleh sebuah berita duka : adikku tercinta Riska Lafitrin Qodri (26 tahun) yang biasa kami panggil Rizal meninggal dunia pada pukul 6 sore akibat kecelakaan motor di perbatasan Blitar-Kediri. Seketika aku menangis, tak pernah mengira akan ditinggalkan begitu cepat olehnya.

Dia lahir di tahun 1981 saat aku berumur 5 tahun. Aku ingat, dulu dan bahkan sering juga terbawa sampai dia dewasa, kami sekeluarga mengolok-oloknya dengan sebutan '' iyek'' (sebutan untuk orang arab dalam bahasa madura karena dia dikaruniai hidung mancung (dibandingkan kami sesaudara yang rata-rata berhidung mancung nggak pesek juga nggak) dan wajah mirip orang arab. Dua tahun setelah dia lahir tibalah masa sulit dalam keluarga: orang tua kami berpisah dan ekonomi keluarga morat-marit. Bertahun-tahun sesudahnya kami terombang ambing antara pilihan ikut bapak atau ibu. Benar-benar masa yang sulit karena tak ada yang peduli pada perasaan kami. Rizal dan Aris (saudara bungsu kami) kecil menjadi tak terurus. Mungkin hanya nenek dari pihak bapak yang perhatian dan dekat dengan kami terutama dengan Rizal. Namun sayangnya saat Rizal duduk di kelas 4 SD, nenek meninggal, suatu pukulan berat bagi Rizal sehingga kami menjadi lebih tidak terurus. Apakah kami sudah makan/belum? apakah pakaian kami masih muat di badan? tak ada yang perhatian. Waktu berkunjung ke rumah ibu biasanya dilakukan di hari minggu dan awalnya itu menjadi masa yang paling menyenangkan sebelum kemudian ibu menikah lagi sehingga sibuk dengan urusan kantor dan suami barunya.

Aku yang 5 tahun lebih tua dari Rizal tak bisa berbuat banyak untuk lebih memperhatikan adik-adikku. Perhatian utamaku saat itu hanya lah belajar dan belajar sebagai pelampiasan dendam akan kondisi keluarga. Keinginan terbesarku pun saat itu adalah pergi sejauh-jauhnya dari keluarga. Meskipun begitu aku sering menangis melihat kondisi adik-adikku. Tumpuan harapanku adalah kakak tertua kami yang saat itu kuliah di ITB. Saat Rizal dan Ariz bersedih, kusuruh mereka secara diam-diam menulis surat pada kakak yang kemudian ku pos kan. Tiba masa sibuk menghadapi EBTANAS dan UMPTN bagiku. Aku menjadi sibuk dan pikiranku tegang setiap hari; stress menghadapi dua ujian negara tersebut dan juga stress memikirkan kemungkinan akan kuliah dan harus meninggalkan dua adikku bersama bapak dan ibu tiri. Siapa nantinya yang akan memperhatikan mereka berdua?. Mendekati hari keberangkatanku ke Malang (karena aku diterima di fakultas pertanian Unibraw) terjadi pertengkaran hebat pertamaku dengan bapak. Aku ingin mereka pindah ke rumah ibu yang saat itu kembali menjanda tetapi dengan egoisnya bapak menolak dengan alasan ibu adalah seorang wanita yang tidak becus / pantas mengasuh anak. Bagaimana pun kerasnya aku protes, bapak tidak menyerah. Saat itu beliau katakan, aku boleh tidak lagi menginjakkan kaki di rumahnya tetapi dua adikku akan tetap bersamanya. Aku menyerah dan pergi ke Malang dengan hati sakit.

Fortunately, Allah masih mengasihani kedua adikku. Saat Rizal duduk di kelas 6 SD dan Ariz di kelas 5 SD, bapak benar-benar bangkrut dan memilih untuk pindah ke Banyuwangi (kota asal ibu tiriku). Mereka berdua enggan membawa dua adikku sehingga Rizal dan Ariz kemudian pindah ke rumah ibu. Ibuku seorang pensiunan BRI yang tidak punya banyak uang tetapi dua adikku menjadi lebih terurus dan bahagia.

Rizal kemudian tumbuh menjadi orang yang memiliki kepribadian tertutup, keras hati namun paling lucu dan supel diantara kami sesaudara. Dia saudara yang paling bisa melucu, jago gambar dan pintar meniru berbagai suara terutama suara mobil. Bahkan anak pertamaku Mutia paling senang bermain dengannya. Aku ingat saat aku masih tinggal di Sumenep dan dia duduk di kelas 3 SMA. Pulang sekolah dia langsung menghampiri Mutia (bayi) dan mengajaknya bercanda sera bilang '' Iaaa, Iaaa ellong " (maksudnya, Tia...Tia... telur) sambil menjawil2 pipi anakku yang bulat seperti telur. Dibandingkan aku dan kakak2ku, dia agak malas belajar meski yang paling malas belajar adalah si bungsu Ariz. Tapi aku tahu dia sangat suka menggambar. Itu sebabnya aku sarankan padanya untuk masuk arsitektur nantinya. Dan kubilang padanya untuk serius berlatih soal2 UMPTN menggunakan buku2 yang kupunya. Kukatakan padanya, kalo memang dia ingin jadi arsitek, jangan asal belajar, kerjakan setiap soal dalam waktu maksimal 2 menit. Alhamdulillah, nggak dinyana dia lolos masuk fakultas teknik jurusan arsitektur univ. Brawijaya. Senang dan bangganya aku.....

Terakhir ketemu dia, pas aku sekeluarga berlibur di Malang. Rambutnya masih gondrong kriwil-kriwil. Ini dia foto terakhir kami di agrowisata Kusuma Malang.



Sayangnya, pas dia menikah, aku tidak bisa hadir karena sedang hamil besar dan baru saja pulih setelah 2 minggu bed rest akibat pendarahan. Sekarang dia telah pergi, meninggalkan anaknya yang masih berumur 2 bulan dan begitu banyak kenangan. Rizal adikku, semoga engkau tenang di SurgaNya.

Monday, June 18, 2007

Ikebana

Suatu malam suamiku bertanya, '' Mau nggak ikut kursus singkat Ikebana?''. Spontan aku menjawab, ''Mau, mau... dimana, gratis nggak?''. Pertanyaan terakhir sangat penting bagiku karena maklumlah....kami harus berhemat selama hidup di rantau. Hore... ternyata memang gratis untuk mahasiswa asing dan keluarganya.
Jadi pada tanggal 27 Mei 2007 kami sekeluarga pergi ke Osaka untuk mengikuti kursus singkat Ikebana. Rencananya aku dan suamiku yang akan menjadi peserta kursus itu dan Mutia yang bertugas menjaga Hana. Tetapi entah mengapa Hana menjadi rewel saat kursus akan dimulai. Jadilah Mutia menggantikan abinya dan menjadi peserta kursus termuda saat itu.

Ikebana adalah seni merangkai bunga, berasal dari kata ''Ikeru'' (meletakkan, merangkai) dan ''Hana/Bana'' (bunga). Keindahan tidak hanya dihasilkan dari penggunaan bunga sebagai materi tetapi penggabungan bunga, daun, batang, ranting pohon dan juga buah. Selain itu, rangkaian bunga Jepang didasarkan pada tiga titik yang melambangkan langit, bumi dan manusia.

Sebenarnya ada beberapa macam gaya Ikebana tetapi yang kami (aku dan Mutia) pelajari saat itu adalah gaya Slanting Moribana, yaitu merangkai bunga di wadah lebar (moribana berarti mulut lebar) dipadukan dengan kemiringan (slanting) arah bunga. Materi yang digunakan adalah vas bundar datar, Milenium bambu (Dracaena sanderiana), bunga Gerbera pink (Gerbera jamesonii), daun Filodendron (Philodendron cv.kookaburra) dan ''Benibana''(Carthamus tinctorius. Bagaimana cara merangkainya? ikuti saja step by step di bawah ini (maaf ya aku copy dari http://www.holymtn.com/garden/Ikebana, lagi males menjelaskan nih!).
Slanting Style (Moribana)
by Reiko Takenaka

Nah, ini dia hasil kursus singkat Ikebana ku, lumayan bagus kan untuk pemula. Tapi jangan mengira komunikasi antara aku dan sensei yang bertugas mengajariku berjalan lancar. Sensei tidak bisa sama sekali bahasa Inggris sementara bahasa Jepang ku '' chotto sukoshi dake'' atau '' just a bit'' (maklum baru 3 bulan join at Nihongo class, he he). Namun keterbatasan bahasa rupanya tidak mengurangi semangat sensei untuk menjelaskan dan mengajariku Ikebana. Termasuk ketika aku bertanya dengan Nihongo seadanya '' mengapa peletakan bunga berdasarkan pada 3 titik, bukan 4 atau 5?'', dia dengan sabar berusaha menjelaskannya padaku bahwa 3 titik bermakna keharmonisan manusia dengan alam (bumi dan langit). Dan ketika pada akhirnya aku berkata ''haik, wakarima shita'', dia tampak sangat puas. Rupanya semangatnya tidak berhenti sampai disitu. Bahkan ketika kami sekeluarga sudah pamit dan keluar ruangan, dia berlari mengejar kami hanya untuk mengajari Mutia bagaimana cara membuat ''Origami'' pinguin. Kira-kira ada nggak ya, orang Indonesia yang ramah dan telaten seperti dia pada orang asing?.

Dan yang di bawah ini adalah salah satu contoh display Ikebana saat saat itu, ck ck ck sugoi to kirei ne !!!.







Sunday, June 17, 2007

Sampah

Dulu sewaktu masih tinggal di Bogor, sedih rasanya saat melihat tumpukan sampah (terutama sampah plastik) yang menggunung di pasar Anyar dan stasiun kereta. Bahkan di rel kereta pun sampah plastik menumpuk dan berterbangan setiap kali KRL lewat. Apalagi kemudian ada kasus TPA Bantargebang dan Bojong, juga kota Bandung yang sempat kelabakan bingung harus membuang sampah ke mana. Waduh, gimana ya caranya agar orang Indonesia sadar untuk membuang sampah di tempatnya, juga bagaimana caranya mendaur ulang sampah-sampah tersebut?.

Yang bisa kulakukan saat itu (dan sampai dengan sekarang) hanya berusaha untuk tidak membuang sampah sembarangan, membawa sampah perjalanan pulang dan membuangnya di rumah, membatasi penggunaan kantong plastik saat belanja dan mengajari anakku untuk tertib membuang sampah ''hanya'' di tempat sampah. Untuk daur ulang, aku sempat berusaha mendaur ulang sampah organik dapur menjadi kompos untuk pupuk tanaman kebunku ( sayang akhirnya terhenti karena kesibukan rumah tangga). Awalnya, suamiku mentertawakanku ketika dalam perjalanan aku ngotot memasukkan sampah plastik/kertas bekas ke tas dan baru membuangnya di rumah. '' Kenapa harus repot'', katanya. ''Toh yang aku lakukan tidak akan berarti apa-apa untuk menyelesaikan masalah sampah di Indonesia''. Sempat marah juga sih, karena menurut pendapatku, apa salahnya melakukan apa yang kita bisa walau sekecil apapun artinya. Kesadaran tertib membuang sampah harus berasal dari kesadaran pribadi. Saat ini mungkin hanya aku, Mutia dan suamiku (akhirnya) yang mau melakukannya. Siapa tahu ada satu/dua orang lainnya lalu somehow menjadi tiga/empat orang lainnya dan kemudian berkembang terus sehingga setiap orang Indonesia sadar untuk peduli akan sampah yang mereka hasilkan.

Saat ini setelah beberapa bulan menetap di kota Otsu Jepang aku kagum melihat betapa bersihnya kota ini. Tidak pernah kulihat ada sampah di tempat umum. Manajemen pengolahan sampah tidak hanya dimulai ketika sampah berada di tempat sampah tapi jauh sebelum sampah itu sendiri dihasilkan. Contoh sederhana adalah sampah organik yang berasal dari sayur/daging/ikan. Ketika kami membeli sayur/daging/ikan dari supermarket, semuanya sudah dalam kondisi siap olah dalam artian sudah dibersihkan bahkan sudah terpotong-potong sesuai jenis makanan yang akan dimasak. Tidak ada lagi tangkai, daun, kulit dan tulang yang nantinya akan terbuang. Jadi minimalisasi sampah sudah terjadi sejak proses produksi hulu.

Di setiap rumah wajib tersedia 3 tempat sampah ; untuk sampah organik, plastik dan kaleng. Untuk wadah minuman dari kertas yang bisa di recycle ada tempat pengumpulan sampah di beberapa tempat. Sampah organik diambil 2 kali seminggu dan sampah plastik/kaleng 1 kali seminggu, itu pun kita yang harus meletakkannya di tempat sampah kolektif (di pinggir jalan). Setiap hari Jum'at ada mobil khusus yang berkeliling menawarkan jasa pembuangan sampah elektronik/furniture yang tentu saja tidak gratis. Teman-teman Indonesia banyak yang mengeluh, mau buang sampah saja kok mahal. Tapi setelah dipikir-pikir, bagus juga harus membayar untuk membuang sampah-sampah tersebut karena akan mendidik kita untuk berpikir dua kali sebelum membeli barang ; benar-benar dibutuhkan atau tidak dan kemana barang lama harus disingkirkan.

Di Tempat umum banyak tersedia minimal dua jenis tempat sampah (untuk sampah organik dan anorganik) dan setiap orang yang bepergian selalu membawa kantong plastik di dalam tas mereka untuk membuang sampah pribadi. Kesadaran penduduk Jepang untuk selalu tertib dalam hal apa pun memang patut diacungi jempol. Saat menunggu lampu hijau traffic light, saat menunggu kereta/bis datang atau saat akan naik lift semuanya sadar untuk antri. Tak pernah ada tulisan ''buanglah sampah pada tempatnya'' atau ''harap antri''. Bayangkan kalau di Indonesia, naik KRL selalu berebut setiap waktu. Bahkan seusai shalat ied di halaman mesjid pun orang sering lupa membawa alas koran bekas mereka pakai untuk dibuang di rumah dan menyerahkan urusan itu ke pengurus mesjid. Wah wah wah kapan ya Indonesia bebas dari masalah sampah?

Sunday, May 13, 2007

Hanami Party

Ikeda sensei, profesor yang membimbing tesis suamiku, mengundang kami untuk Hanami party di Ze-Ze koen, di tepi Biwako (danau biwa). Dari apato kami berangkat pukul 10 pagi. Dimulai dengan 10 menit jalan kaki ke Seta eki (stasiun Seta), disana telah menunggu Muhidin san, mahasiswa S2 asal Uzbekistan. Perjalanan dilanjutkan dengan densha (train, KRL kata orang jabotabek) ke Ishiyama eki. Lalu pindah ke Ishiyama Keihan menuju Ze-Ze eki. Mungkin karena pas week end, densha agak penuh hari itu. (Tapi jangan dibayangkan penuh hingga empet2an seperti KRL ekonomi jurusan Bogor-Jakarta lo....). Tiba di Ze-Ze eki, kami berjalan lagi 10 menit lamanya ke ko en.Rupanya disana telah menungu Hung san, mahasiswa S3 asal vietnam, beserta keluarga dan temannya. Tak lama, Ikeda sensei menyusul datang dan juga teman2 lainnya.

Hanami party sebenarnya adalah acara kumpul bersama untuk melihat bunga sakura yang sedang mekar. Kata Hanami berasal dari Hana (bunga) dan Mite (melihat). Jadi Hanami party adalah piknik bersama di bawah pohon sakura. Kenapa sih, kok pake acara piknik segala hanya untuk melihat bunga sakura? ....itu karena bunga Sakura hanya mekar selama 10 hari dalam setahun. Jadi, kata suamiku, aku dan anak-anak beruntung datang ke jepang pas awal musim semi ini.

Alas piknik segera digelar, kompor gas portable dinyalakan. Untung Ikeda sensei membuat semacam dinding plastik untuk para bayi dan ibunya. Kalo nggak, bisa-bisa para bayi membeku kedinginan. Kutulis para bayi karena memang bukan cuma ada Hana chan tapi ada juga Ran chan (puteri pertama Hung san) dan temannya. Maklum, bukan cuma dingin banget tapi juga angin bertiup kencang dari arah danau Biwa. Pipi Hana jadi memerah dan tanganku kaku kedinginan.( Aku lupa pake kaos kaki, lagi !!!). Herannya, nampaknya Hana tidak terganggu sedikitpun oleh dinginnya udara dan tiupan angin. Dia malah tertidur pulas di stroller-nya.

Disana kami makan sushi, telur rebus yang rasanya agak gurih, fruit yasai with peanut sauce (yang menurutku mirip pecel minus rasa manis pedes dan aroma daun jeruk) dan beberapa soft drink. Tentang yasai with peanut sauce (ini istilahku sendiri lo....), adalah beberapa macam sayuran seperti sawi, mushroom, okra yang direbus bersama dengan daun bawang, tiram dan potongan daging ayam dalam panci keramik lalu dimakan panas-panas dengan saus kacang encer. Dalam udara dingin seperti itu, sayur pecel ala jepang segera ludes abis.

Pada kesempatan itu, suamiku menyerahkan o miyage (hadiah) dari kami untuk Ikeda sensei dan isterinya (sayang isterinya tidak ikut hadir) berupa kemeja dan kain batik . Kemudian acara dilanjutkan dengan foto bersama dan jalan-jalan. Pukul 4 sore, kami pulang menempuh rute yang sama. Dalam perjalanan pulang, tentu saja aku tidak lupa hunting bunga-bunga jepang untuk ku foto dan membuat kesal Mutia. '' iih ummi, cepetan donk jalannya !''. (Maaf ya sayang, soalnya bunga-bunga jepang cantik-cantik dan bikin gemess). Pukul 5 sore, kami tiba di apato dan cepat-cepat meringkuk di bawah selimut untuk menghangatkan badan. Meskipun kemudian tanganku dan pipi Hana tampak gosong karena frost bite, aku tidak menyesal harus kedinginan hanya untuk melihat sakura mekar. Sakura..sakura....kirei ne!.


Thursday, May 10, 2007

Party di rumah Ikeda sensei

Waktu aku masih di Indonesia, suamiku sudah mengingatkan bahwa ada kemungkinan besar aku harus memasak makanan khas Indonesia untuk dibawa ke rumah Ikeda sensei. Maklum Ikeda sensei senang sekali memasak dan suka makanan yang memakai santan sebagai salah satu bahannya. Benar juga, pada hari kamis tanggal 29 April 2007, kami diundang untuk menghadiri "welcome party" , pesta untuk menyambut kedatangan kami sekeluarga. Malam sebelumnya aku sudah sibuk memasak rendang. Meskipun ini pertama kalinya aku masak rendang. aku sih pe de aja, soalnya aku tinggal nyemplung aja semuanya. Kan ada bumbu instan "bamboe", he he.

Tapi bingung juga karena daging halal yang kami punya hanya 1 Kg sedangkan diperkirakan ada 12 orang di pesta itu. Mana cukup? akhirnya kuputuskan untuk mencampurnya dengan kentang goreng dan potongan daging diperkecil. Kalo ada orang Indonesia lain yang hadir waktu itu, aku pasti diketawain, "ini rendang atau sambal goreng?". Mau tahu gimana hasilnya ini dia....., digarnis pake daun bawang dan wortel (itu juga ide dadakan dan pake bahan seadanya di kulkas).


Di pesta itu Ikeda sensei menyediakan sup labu, nasi yang di tim bersama seafood (masakan spanyol, katanya). Prabina san membawa ''Nepal salad" karena dia memang berasal dari Nepal. Keluarga Hung san memasak sup soun yang mereka sebut "Fe". Yang san (asal China) membawa spicy wing dan Muhidin membawa es krim plus buah. Untungnya hampir semua orang di pesta itu suka rendang bikinanku. "It's delicious" kata Muhidin san, " I like your rendang and I want to cook it" kata Prabina san. Waktu kujelaskan bahwa aku memasaknya selama dua jam with low flame, mereka heran ,"really?". Mereka tidak tahu bahkan di Indonesia rendang dimasak selama 4 jam!. Syukurlah kewajiban memasak pertama sukses, untuk pesta-pesta selanjutnya.....think later!.

Ada hal yang membuat aku dan suamiku surprise malam itu. Saat Mutia anak kami di tanya beberapa soal perkalian, Mutia menghitungnya dengan jari (semacam metode jarimatika). Ternyata itu adalah metode baru bagi mereka, ''sugoi " (hebat) kata mereka. Dan karena bahkan suamiku tidak mengenal metode itu, aku lah yang wajib menjelaskan pada mereka semua bagaimana menghitung perkalian menggunakan jari tangan. Aku tahu bagaimana sulitnya bagi anak SD menghapal perkalian. Itu sebabnya aku mengajari Mutia bagaimana menghitung perkalian angka-angka di atas lima dengan menggunakan jari tangan. Aku sendiri lupa siapa yang telah mengajariku metode itu dulu saat masih SD. For someone yang telah mengajariku jarimatika, doumo arigatou gozaimasu !!!.

Monday, May 7, 2007

Japan, I'm coming....

31 Maret 2007.

Semburat merah di ufuk timur mulai tampak dari balik jendela pesawat dan kulihat Mutia, putri pertama ku, masih tidur pulas.Begitu juga Hana, putri kedua ku, di pangkuanku. Pukul lima pagi waktu Jepang, berarti masih 3 jam lagi untuk tiba di bandara Kansai Osaka. Apa yang akan kualami nanti setelah aku dan anak2 bertemu suami? what will be will be..Bagiku semuanya akan tetap jadi perjuangan untuk survive.Bedanya, di Indonesia aku harus hadapi semuanya sendiri sedangkan di Jepang nanti ada suami yang akan membantu.Bagi Mutia, mungkin ini momen yang telah lama dia tunggu.Hana, nangis nggak ya, pas pertama ketemu abinya? dia kan ditinggal sejak berumur 3 hari.Pukul 06.30, kubangunkan anak-anak untuk sarapan setelah itu mereka tertidur lagi.

Kerangkatan kami ke Jepang sudah kami rencanakan sejak hampir setahun yang lalu, itu pun melalui proses yang berliku. Dan semuanya harus kukerjakan sendiri bahkan sebelum masa nifas ku berakhir.Mulai dari translate dokumen, pembuatan paspor,complain ke PT POS hingga pembuatan visa.Untungnya saudara, teman dan tetangga banyak memberikan bantuan (buat keluarga jl johar, keluarga Bandung, ibu dan temen2, makasih banyak ya....). Khusus tentang complain ke PT POS dan pembuatan visa, benar-benar keajaiban dari Allah untuk kami. Bayangkan aja, Eligibility sertifikat yang telah kami tunggu sejak hampir 10 bulan dihilangkan begitu saja oleh PT POS.Padahal dokumen itu kami butuhkan untuk mengurus visa. Hampir gila rasanya membayangkan dokumen itu hilang selamanya padahal sebagian barang sudah dikirim ke Jepang dan hampir semua tabungan terkuras untuk semua persiapan kami. Tinggal berangkat,kok adaaaa aja ujian yang menuntut kesabaran kami.

Pukul 08.00 pesawat mulai landing di bandara Kansai.Kulihat betapa bersemangatnya Mutia untuk segera bertemu abinya, teman bermain sekaligus teman berantem nya. Saat pemeriksaan dokumen imigrasi, aku sempat bengong juga sejenak ketika petugas yang bersangkutan bertanya dalam bahasa Jepang. Yang bisa kutangkap saat itu hanya '' kore wa...kore wa... '' (maklum bahasa jepang ku hanya sebatas baca buku saja he.. he..).Dan susahnya lagi, ternyata dia juga tidak bisa bahasa Inggris !. Ooh, rupanya dia menanyakan satu dokumen yang harusnya dimiliki Hana. Kujawab saja '; I didn't receive it for my baby''. Dia balas menjawab, '' kore wa... kore wa... lagi. " I must fill this blank document?" tanyaku, "Haik...haik..., buru-buru kuisi formulir itu. Untungnya pas pemeriksaan bagasi Hana menangis keras saat disapa kawai ne...kawai ne (lucunya, lucunya) oleh petugas imigrasi bandara. Jadi batal deh pemeriksaan koper oleh mereka. Aku segera berlalu seraya berkata '' Arigato gozaimasu'' (Makaci ya Hana sayang....).Di lobby bandara, Mutia segera berlari menghampiri dan memeluk abinya. ''Aku hampir menangis tadi pas dipeluk muti", cerita suamiku. Oo ternyata dia kangen juga pada kami. Akhirnya kami sekeluarga berkumpul kembali setelah hampir setahun berpisah.